Di sudut padang rumput berdiri seorang anak gadis. Dengan langkah lunglai ia berjalan setapak demi setapak. Kuperhatikan dengan seksama, rambut panjangnya yang kemerah-merahan terlihat kusut tak beraturan, kedua matanya menyiratkan kepedihan yang tak tertahankan.
Apakah aku mengenalnya?
Kedua tangannya terangkat ke udara, dan tak lama kemudian ia berlari. Ia terus berlari mengelilingi padang rumput itu sambil sesekali ia berteriak. “Tuhan…!!!!!” Oh..ia memanggil Tuhan.
Ada apa denganmu gadis manis?
Ia terus saja berlari dan terus berlari, ketika burung-burung satu per satu mulai mengepakkan sayapnya, dan terbang jauh meninggalkan padang rumput itu. Ia terus saja berlari dan terus berlari, ketika teriknya sinar matahari tak dapat kutahan lagi.
“Tuhan…!!!!!” Ia terus saja meneriakkan nama Tuhan.
Mengapa kau mencari-Nya wahai gadis manis? Ia ada di atas sana, memandangimu dengan kasih-Nya. Aku masih memandanginya tanpa sepatah kata. Ia lalu berbaring di padang rumput itu, menatap hampa ke langit seolah-olah tak peduli oleh panasnya matahari saat ini.
“Tuhan…!!!!!” Kali ini dapat kudengar dengan jelas tangisannya.
“Oh gadis manis, apa yang dapat kulakukan?”
Hatiku pun tak sanggup lagi menatapnya. Air mataku menetes satu per satu. Siapakah gerangan engkau wahai gadis? Penderitaan apa yang sedang kau rasakan? Lihatlah hari yang teramat indah ini! Diatas padang rumput yang indah engkau berbaring, ditemani pepohonan yang menari dihembus angin, sayup-sayup rumput pun bernyanyi untukmu, dan langit yang cerah menemanimu tanpa gangguan awan.
“Tetapi mengapa….mengapa engkau menangis?
Detik demi detik terus berlalu, perlahan-lahan awan gelap mulai menutupi bumi dari teriknya matahari. Dan tak berapa lama, tetes-tetes air hujan menerpa dedaunan dengan malu-malu. Aku masih duduk dibawah pohon ketapang, yang memayungiku dengan daunnya yang lebat dari serangan air hujan. Menyaksikan padang rumput itu digenangi air dengan cepatnya. Tetapi mengapa gadis itu masih saja terbaring dengan tenangnya, seolah –olah ia tak terganggu dengan tinggi air yang perlahan menutupi seluruh tubuhnya.
“Bangunlah gadis manis!!!” Akhirnya kuberanikan diriku untuk berteriak.
Ia tak menjawab, bahkan ia seakan tak mendengar teriakanku. Aku tak kuasa lagi menyaksikan air yang sudah menutupi seluruh tubuh gadis itu. Aku berlari, berlari dengan sekuat tenaga yang kumilik, meraih tubuh gadis itu secepat mungkin dan memeluknya.
“Hei….Bangunlah!!!”
Petir semakin hebat menyambar diatas kepala kami berdua. Suara gemuruh guntur seperti tak ingin ketinggalan, hendak memecahkan gendang telinga. Namun tetap saja tak ada tanda-tanda bahwa gadis itu akan sadar dari tidurnya. Kutatap wajahnya yang tertidur tenang, masih dapat kurasakan kepedihan hatinya.
“Siapakah engkau wahai gadis manis? Bangunlah, alam pun seakan tak hendak bersahabat denganmu saat ini. Biarkan aku menolongmu dari segala penderitaan batinmu. Aku ingin menolongmu, wahai gadis manis.”
Seakan petir telah menyambarku, tiba-tiba kedua mata gadis itu terbuka, ia tersenyum dengan manisnya kepadaku. Masih didalam dekapanku ia berbisik pelan. “Terima kasih….”
Dan ia terkulai lemah tak bertenaga, menengadah ke langit dengan tatapan penuh kebahagiaan, dengan senyum tipis di bibirnya. Lalu semuanya semakin gelap, kurasakan tetes-tetes hujan bercampur dengan tetes air mata yang mengalir dipipiku. Tak ada lagi detak jantung yang kurasakan padanya. Wajah manisnya mulai membiru , namun tak melunturkan kebahagiaan yang terpancar dari wajah itu.
“Siapakah engkau wahai gadis manis? Tak sempat kau ucapkan namamu, tak sempat kutawarkan tanganku untukmu.”
Kutatap langit yang masih mencurahkan air hujannya. Kulihat gadis manis itu berlari-lari kecil disana, ada tawa bahagia tergores di wajahnya, ia melambai kepadaku dan tersenyum. Tak lama kemudian hujan t’lah usai, burung-burung kembali bernyanyi dibalik pepohonan. Diatas bukit, pelangi mulai muncul menambah keindahan padang rumput ini. Dan aku, masih mendekap tubuh gadis manis itu dengan segala misteri yang ditinggalkannya.
De DonK
Salatiga, Dec 2007
|