“Apa kabar?”
“Saya baru saja selesai mengumpulkan orang-orang kampung untuk sosialisasi.”
Percakapan akhirnya berhenti ketika sebuah motor membunyikan klakson karena sepertinya kedua mobil kami menghalangi jalan. Sepanjang perjalanan saya hanya bisa tertawa di dalam hati.
Sosialisasi?
Sosialisasi apa?
Omong kosong.
Aku bisa menebak apa yang baru saja si Caleg itu lakukan di kampung tersebut. Duduk manis di atas kursi sambil tersenyum ramah kepada setiap penduduk kampong. Mungkin ditambah dengan sedikit lambaian. (hihihi…. Terlalu berlebihan ya?) Tak lama kemudian ia mulai mengucapkan kalimat sakti, pujian dan terima kasih karena kehadiran orang-orang, dan kemudian disusul dengan menyampaikan janji-janji yang akan ditepatinya jika ia terpilih.
“Jika terpilih”
Dan jika tidak terpilih? Maka semuanya itu hanya sekedar kalimat yang lenyap ditelan udara malam yang dingin di kampung ini. Dasar lidah memang tak bertulang.
Fenomena ini sebenarnya terjadi di semua daerah. Masa-masa Kampanye Pemilu 2009 benar-benar menjadi ajang untuk menunjukkan simpatik dan perhatian kepada masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah. Setiap caleg berlomba-lomba menunjukkan bahwa mereka peduli dengan keadaan penduduk kampung, dan dengan berbagai cara berusaha merebut simpati dari mereka. 2 jam mungkin bukan waktu yang cukup bagi ku untuk mendapatkan banyak informasi seputar Pemilu 2009 di kampung ini. Mungkin tidak cukup untuk mengetahui bahwa beberapa caleg mulai memberikan sumbangan ke rumah-rumah ibadah dengan harapan bahwa anggota jemaat terpengaruh oleh kebaikan hatinya. (dan benar saja ada yang mulai terpengaruh) Mungkin waktu yang kurang untuk mendengar guyonan dari para warga kampung yang ternyata mengangap semua itu sebagai kisah klasik Pemilu Indonesia yang sejak dari dahulu kala sudah terjadi.
Aku hanya bisa tersenyum ketika melihat beberapa warga kampung menertawakan tingkah para caleg. “Ternyata orang kampung saja sudah mengerti politik”. Makanya jangan memandang remeh orang kampung. :D
|